C. Dalihan Na Tolu

Upacara adat Batak merupakan upacara keagamaan yang menggambarkan atau memetakan roh-roh sembahan para leluhur. Gambar ini dapat dilihat dalam struktur masyarakat Batak yang disusun dengan prinsip Dalihan Na Tolu yang arti hurufiahnya ‘tungku berkaki tiga’.

Prinsip ini membagi status dan peranan seseorang dalam tiga bagian yaitu :

  • Hula-hula (pihak pemberi gadis)
  • Dongan sabutuha (teman satu perut/semarga)
  • Boru (pihak penerima gadis)

Hubungan dalam Dalihan Na Tolu ditata dalam satu falsafah somba marhulahula, elek marboru, manat mardongan tubu (menyembah hulahula, hati-hati kepada teman semarga, membujuk/melindungi/mengayomi boru).

Melalui pembagian ini setiap orang yang terlibat dalam upacara adat akan dipisahkan tempat duduknya (parhundulanna) berdasarkan hubungan kekerabatan (tutur) antara dia dengan suhut (pihak yang mengadakan acara). Pihak Hula-hula duduk pada kelompok tertentu demikian juga pihak Boru dan Dongan Sabutuha. Kehadiran mereka dalam upacara adat tersebut untuk melaksanakan segala kewajiban dan menerima segala hak yang telah ditentukan oleh adat  (baca: aturan hidup agama batak).

Pada tatanan sosial, Dalihan Na Tolu, menata hak dan kewajiban seseorang atau sekelompok orang dengan orang lain atau kelompok lain. Setiap orang dalam upacara adat harus menjalankan perannya sesuai statusnya. Dalam suatu acara adat, seseorang bisa berperan sebagai Hulahula dan dalam acara adat lainnya, dia bisa berperan sebagai Dongan Sabutuha atau Boru. Setiap orang Batak akan melakoni ketiga status ini pada kesempatan yang berbeda dan dalam hubungan kekerabatan yang berbeda juga.

Pada tatanan rohani, Dalihan Na Tolu, menggambarkan relasi antara manusia dengan alam gaib yakni antara banua tonga dengan banua ginjang. Dr.Philip O Tobing dalam bukunya ‘The Structure of the Toba Batak Belief in the High God’ (Struktur Kepercayaan Batak Toba dalam Ketuhanan Yang Maha Tinggi) menyimpulkan bahwa Batara Guru, Mangala Sori dan Mangala Boru adalah representasi (perwujudan) dari Hulahula, Dongan Sabutuha dan Boru.

Sejalan dengan itu, Dr. Annicentus Sinaga, dalam artikelnya pada majalah ‘Dalihan Natolu’ yang berjudul ‘Dalihan Natolu dijamin oleh Dewata Benua Atas’ menjelaskan bahwa falsafah Dalihan Natolu didasarkan pada keyakinan keagamaan orang Batak pada masa hasipelebeguon. Struktur Dalihan Natolu menggambarkan hubungan tiga roh dewa sembahan leluhur yaitu Batara Guru, Mangala Sori dan Mangala Bulan. Dengan demikian Dalihan Natolu merupakan tatanan rohani yang dimulai dari banua ginjang dan harus diberlakukan di bumi (banua tonga).

Pelanggaran atas struktur ini merupakan pelanggaran terhadap debata Mulajadi Nabolon dan akan merusak keseimbangan alam makro kosmos dengan alam mikro kosmos karena itu akan mendapat hukuman darinya. Ketakutan akan hukuman dari Mulajadi Nabolon ini tertanam dalam hati orang Batak sehingga mereka tetap berupaya mempertahankan eksistensi upacara adat.

Jadi struktur Dalihan Natolu merupakan proyeksi dari eksistensi (keberadaan) ketiga sesembahan leluhur Batak yang ada di banua ginjang dan manusia sebagai pelaku upacara adat adalah alatnya. Selama upacara adat dilakukan, ketiganya tetap mendapat tempat dalam kehidupan orang Batak, sekalipun mereka tercatat sebagai orang Kristen.

Hal ini bisa terjadi karena banyak orang Batak Kristen tidak mengetahui makna rohani yang sesungguhnya dari struktur Dalihan Natolu ini. Mereka menganggap bahwa Dalihan Natolu hanyalah sebagai pengelompokan dari status sosial dan peran sosial dari anggota masyarakat Batak. Kita tidak menyadari bahwa melalui konsep Dalihan Natolu itu, iblis memanipulasi diri kita untuk kepentingannya.

Sebuah tungku sering harus diberikan ganjal untuk mengokohkan dan menahan beban di atasnya. Ganjal itu merupakan unsur yang melengkapi ketiga unsur dalihan natolu, dan disebut dengan ‘sihal-sihal’. Pemahaman ini dalam istilah Batak disebut ‘dalihan natolu, paopathon sihal-sihal’. Sihal-sihal melambangkan debata Asiasi, yang dalam agama batak berperan sebagai dewa yang membantu manusia dalam berhubungan dengan dunia para   dewa (banua ginjang).

            Peran sihal-sihal diberikan kepada ‘ale-ale’ (teman sekampung atau dongan sahuta). Dr.Philip O Tobing juga menjelaskan bahwa keberadaan keempat dewa orang Batak itu disimbolkan dalam ‘suhi ampang na opat’ yaitu sebuah bakul yang bersegi empat yang dibawa oleh pihak parboru untuk pihak paranak dalam upacara pernikahan.

Jadi hadirnya seluruh unsur Dalihan Natolu dan sihal-sihal merupakan lambang dari kehadiran roh-roh sembahan leluhur pada acara adat. Jadi setiap orang atau kelompok yang hadir dalam suatu acara adat sebenarnya sedang menggambarkan keberadaan roh-roh sembahan para leluhur pada masa hasipelebeguon.

Karena setiap orang Batak memiliki ketiga peran dalam Dalihan Natolu, maka pelaku dalam acara adat Batak merupakan ‘gambaran’ dari  Mulajadi Nabolon. Waktu berperan sebagai Hula-hula, dia menggambarkan Batara Guru. Sebagai Dongan Sabutuha dia menggambarkan Mangala Sori dan sebagai Boru dia menggambarkan Mangala Bulan. Benarlah apa yang dikatakan oleh seorang ahli etnografi bernama E.M.Loeb (1935) bahwa kebiasaan adat yang dijumpai pada orang-orang timur merupakan ‘ghost sanctioned custom’ (kebiasaan yang disahkan oleh roh-roh). Adat sebagai rangkuman tradisi adalah juga penjelmaan hakiki dari agama suku.

Tiga roh sembahan suku Batak yang dipersonifikasikan dalam Dalihan Natolu merupakan anak-anak dari debata Mulajadi Nabolon. Ketiganya merupakan pancaran kemuliaan dari Mulajadi Nabolon, karena itu upacara adat merupakan kegiatan agama suku yang dilakukan di dalam dan demi nama Mulajadi Nabolon, sebagai sesembahan tertinggi. Makanya, dalam setiap gondang dan tortor yang dimainkan, hal yang pertama yang dilakukan adalah menyampaikan (mangalu-aluhon) acara itu kepada Mulajadi Nabolon melalui pukulan gondang pargonsi. Pukulan gendang itu memiliki irama khusus dan berbeda dari pukulan gendang lainnya. Gerakan tortor yang pertamapun ditujukan kepada Mulajadi Nabolon dengan nama gerakan ‘somba-somba’.

Kehadiran roh-roh sembahan leluhur itulah yang akan mendorong seseorang dari dalam hatinya untuk kembali dan terus melakukan berbagai upacara adat sehingga terjadi penguatan ikatan rohani dengan roh itu. Penguatan ini akan menjadi suatu belenggu kuat iblis untuk mengendalikan pribadi dan tingkah laku orang Batak, sehingga orang itu akan sangat memegang kuat adat Batak dan sangat sulit bagi dia untuk keluar dari paradigma adat itu. Belenggu yang kuat inilah yang merupakan salah satu bentuk pertahanan iblis untuk mempertahankan ‘tahta kemuliaan’nya di tengah-tengah suku Batak.

Dan keberadaan roh-roh inilah yang akan membuat seseorang akan menjadi sangat marah dan kalap ketika masalah upacara adat ini dibukakan. Tingkah laku dan ucapannya segera menjadi tidak terkendali. Dari mulutnya akan keluar kata-kata yang memaki, menghina, mengutuk dan kasar bahkan kotor, yang sebenarnya tidak pantas diucapkan oleh seorang Kristen. Dan mereka ini akan membenci (bahkan mengucilkan) orang-orang yang tidak mau lagi melakukan upacara adat!

Dalam soal pernikahan saja, dimana berapa banyak orangtua Batak yang mengeraskan hati untuk tidak hadir dalam pernikahan anaknya karena tidak dilansungkan dengan memakai upacara adat. Kasih mereka akan TUHAN dan anaknya segera sirna ketika adat tidak mendapat tempat. Mereka mengabaikan tanggungjawab sebagai orangtua di hadapan TUHAN untuk membawa anak mereka kepada TUHAN dan menjadi saksi dalam pernikahan kudus anaknya itu. TUHAN tidak pernah menyuruh orangtua menikahkan anaknya dengan cara lain di luar ketentuan Firman-Nya, terlebih-lebih dengan upacara agama sesembahan leluhur Batak (yang notabene adalah penyembahan berhala). Mereka lebih mencintai (lebih membela, lebih mengutamakan) adat ketimbang mencintai sabda Yesus Kristus Tuhan.

Matius 22:37, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.”

Seorang ibu menceritakan ketika seorang anak kakaknya meninggal dunia. Karena mau mentaati Firman TUHAN, ibu ini dan keluarga kakaknya itu sepakat untuk tidak menguburkan anak itu secara adat, tapi cukup dengan upacara gereja saja. Akibatnya, keluarga besar mereka lainnya  menjadi marah dan tidak mau ambil bagian dalam penguburan. Bahkan ada yang tega melempari rumah keluarga itu dengan batu. Dan ibu itu dengan keluarganya akhirnya terpaksa pindah rumah karena dikucilkan dan terus diintimidasi.

Bagaimana dengan anda sendiri?

 

(Disarikan dari buku ‘Pandangan Injil terhadap Upacara Adat Batak’ oleh Henry James Silalahi; Kawanan Missi Kristus, Medan).